PrasastiMuara Cianteun, ditemukan di Bogor, tertulis dalam aksara ikal yang belum dapat dibaca. Di samping tulisan terdapat lukisan telapak kaki. Nama kerajaan Sriwijaya dalam berita Cina tersebut, Kitab Usaha Jawa menjelaskan tentang penaklukan pulau Bali oleh Gajah Mada dan Arya Damar.
KekaisaranSriwijaya telah ada sejak 671 sesuai dengan catatan I Tsing, dari prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang.Di abad ke-7 ini, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan yaitu Malayu dan Kedah menjadi bagian kemaharajaan Sriwijaya. Berdasarkan prasasti Kota Kapur yang yang berangka tahun 686 ditemukan di pulau Bangka
Sumbersumber kerajaan Kutai diperoleh dalam bentuk Prasasti yang dikenal dengan sebutan yupa. Dari prasasti ini dapat diperoleh informasi tentang. 1. Silsilah penguasa Kutai yang dimulai dari Kudunga, aswawarman dan mulawarman. 2. Penyelenggaraan upacara korban yang bernama Vaprakeswara Oleh raja Mulawarman. 3.
ArkeologBambang Budi Utomo menjelaskan isi beberapa prasasti bukti keberadaan Kerajaan Sriwijaya. Prasasti yang ditulis dalam aksara Pallawa dan berbahasa Melayu Kuno terdiri dari 14 baris. Isinya tentang pembangunan Taman Sriksetra oleh Sri Jayanasa pada 23 Maret 684 dengan tujuan untuk kesejahteraan semua mahluk," tutur Tomi.
Prasastiini ditemukan oleh J.K Van der Meulen tahun 1892 dengan isi yang menceritakan tentang kutukan untuk orang yang berani melanggar titah atau pertintah dari kekuasaan Raja Sriwijaya. Prasasti ini kemudian diteliti oleh H.Kern yang merupakan ahli epigrafi berkebangsaan Belanda yang bekerja di Bataviaasch Genootschap di Batavia.
Beberapaprasasti lain yang ditemui juga menceritakan Siddhayatra dan penaklukkan wilayah sekitar oleh Sriwijaya, yaitu prasasti yang ditemukan di Kota Kapur di Pulau Bangka (686 masehi), Karang Brahi di Jambi Hulu (686 masehi) dan Palas Pasemah di selatan Lampung, semua menceritakan peristiwa yang sama.
PrasastiTanyore menyebutkan bahwa ibu kota Kerajaan Malayu dilindungi oleh benteng-benteng, dan terletak di atas bukit. Slamet Muljana berpendapat bahwa istana Malayu terletak di Minanga Tamwa sebagaimana yang tertulis dalam prasasti Kedukan Bukit. Menurutnya, Minanga Tamwa adalah nama kuno dari Muara Tebo (atau Kabupaten Tebo di Provinsi Jambi).
4ea27br. 403 ERROR Request blocked. We can't connect to the server for this app or website at this time. There might be too much traffic or a configuration error. Try again later, or contact the app or website owner. If you provide content to customers through CloudFront, you can find steps to troubleshoot and help prevent this error by reviewing the CloudFront documentation. Generated by cloudfront CloudFront Request ID c_RXIs_Wht9T_DkQHpxYY5ceCTK5PCoQygw8yU8NrBnqd6rV1fWNeA==
feryfery358 feryfery358 Sejarah Sekolah Menengah Pertama terjawab • terverifikasi oleh ahli Iklan Iklan Michaelsj Michaelsj Prasasti kota kapurKlo salah saya minta maaf ya salah bukan kota kapur jawabannya Berita tentang penaklukan Jambi dan Sriwijaya Tertulis dalam Prasasti … makasii game burik dimainin yuk Iklan Iklan Pertanyaan baru di Sejarah Keistimewaan pulau pinang terhadap british Apakah perkara yang boleh kita lakukan agar warisan sumber primer tidak dilupakan? Banyak orang yang keluar dari kepemimoinan abu bakar penyebabnya antara lain nilai sin 180°+a sama dengan nilai...a. -sin ab. -cos ac. sin-ad. sin ae. cos a 47. Sebutkan beberapa kebijakan yang dilakukan Shalahudin Al Ayybi dalam membangun pemerintahan! Sebelumnya Berikutnya Iklan
Prasasti Kota Kapur koleksi Museum Nasional Dok. Kemendikbud. “…Jika pada saat mana pun di seluruh wilayah kerajaan ini ada orang yang berkhianat, bersekutu dengan pengkhianat, menegur pengkhianat atau ditegur oleh pengkhianat, sepaham dengan pengkhianat, tidak mau tunduk, dan tak mau berbakti, tak setia kepadaku dan kepada mereka yang kuserahi kekuasaan datu, orang yang berbuat demikian itu akan termakan sumpah. Kepada mereka, akan segera dikirim tentara atas perintah Sriwijaya. Mereka sesanak keluarganya akan ditumpas!” Begitu sejarawan Slamet Muljana dalam Sriwijaya menerjemahkan sebagian kalimat kutukan yang ada dalam Prasasti Kota Kapur. Prasasti Kota Kapur adalah satu dari enam prasasti kutukan Kedatuan Sriwijaya yang sejauh ini sudah ditemukan. Prasasti ini berasal dari 686 M. Ada beberapa hal yang bisa diketahui lewat prasasti itu. Ini terutama yang berkaitan dengan ekspedisi militer Sriwijaya. Pertama, pendapat Slamet Muljana bahwa Prasasti Kota Kapur menunjukkan hubungan antara Sriwijaya dan Pulau Jawa. Pada 686 M, Sriwijaya berusaha menundukkan Pulau Jawa. Sayangnya, kerajaan mana yang akan ditundukkan tak diketahui pasti. Nama kerajaannya tak disebut. Yang dinyatakan pada Prasasti Kota Kapur hanyalah bhumi Jawa. “Tentara Sriwijaya berangkat ke Jawa pada hari pertama bulan terang bulan Waisaka 608 Saka. Piagam persumpahan Sriwijaya adalah follow up operasi militer Sriwijaya,” tulisnya. Baca juga Tiga Faktor yang Membuat Sriwijaya Jadi Kerajaan Kuat Kedua, pendapat Nicholaas Johannes Krom, peneliti sejarah awal Indonesia asal Belanda, bahwa prasasti ini merupakan pernyataan pemilikian atas wilayah baru. Karena Prasasti Kota Kapur ini ditemukan di Pulau Bangka, di sebelah utara Sungai Menduk, artinya pada 686 M, Pulau Bangka sudah ditaklukkan. “Sampai ke mana ekspansi itu pada akhir abad ke-7? Hal ini ditunjukkan justru dengan adanya prasasti-prasasti tadi,” tulis George Coedes, arkeolog asal Prancis, dalam Kedatuan Sriwijaya Penyebutan bhumi Jawa dalam prasasti itu menimbulkan berbagai tafisran. Bagi Kern dan Blagden, bhumi Java berarti Jawa atau Sumatra. Sementara Rouffaer memilih Jawa. Namun, Krom lebih melihatnya sebagai Pulau Bangka atau bagian Nusantara yang kemudian oleh bangsa Arab dinamakan negeri Zabaj. “Sebab, jika yang dimaksud Pulau Jawa, maka tak masuk akal mengapa ekspedisi yang dilancarkan untuk menyerbu bhumi Java disebut dalam prasasti yang ditemukan di Bangka,” kata Krom, sebagaimana dikutip Coedes. Coedes lebih sepakat pada penafsiran bhumi Java harus dicari di luar Bangka. Itu tiada alasan untuk tidak mengidentifikasikannya sebagai negeri yang sudah selama-lamanya bernama Jawa. “Jika dalam sejarah Jawa benar-benar ada kurun waktu sebagian Pulau Jawa diserang oleh Sriwijaya, maka mungkin asal mulanya harus dicari pada ekspedisi 686 itu,” tulis Coedes. Karenanya, bisa disimpulkan, prasasti itu tak menyebut perebutan wilayah sesudah perang. Prasasti Kota Kapur hanya memberitakan, pemahatannya terjadi pada saat balatentara Sriwijaya baru berangkat untuk menyerang bhumi Java yang tak takluk pada Sriwijaya. “Jelaslah ekspedisi itu disebut sebagai contoh agar penduduk tempat prasasti itu didirikan, yaitu di Pulau Bangka, berpikir dulu kalau-kalau ada niat untuk memberontak terhadap kekuatan Sriwijaya,” kata Coedes. Itu sebagaimana yang bisa ditafsirkan dari penutup prasasti. Kalimatnya, bahwa pada waktu prasasti itu dikeluarkan, tentara Sriwijaya berangkat ke bhumi Java. Alasannya, kata Slamet Muljana, karena Pulau Jawa tidak berbakti kepada Sriwijaya. Ceritanya, keberangkatan tentara Sriwijaya ke Jawa berakibat berkurangnya kekuatan pertahanan dalam negeri. Raja Dapunta Hyang yang ketika itu berkuasa pun takut kalau-kalau timbul pemberontakan di wilayah Sriwijaya sebagai usaha untuk memperoleh kemerdekaan mereka kembali atau sebagai balas dendam terhadap Sriwijaya. “Pemberontakan yang mungkin timbul adalah pemberontakan di negeri bawahan,” catat Slamet Muljana. Sebagai Kedatuan, Sriwijaya terdiri dari wilayah-wilayah yang dipimpin oleh datu. Mereka ini masuk ke wilayah Sriwijaya setelah mengakui kedaulatan Sriwijaya, yaitu Kedah, Ligor, Semenanjung Melayu, Kota Kapur, Jambi, Lamoung, dan Baturaja. “Kedatuan dari kata datu atau orang yang dituakan. Dalam prasastinya tidak pernah menyebutnya sebagai kerajaan,” kata Ninie Susanti, arkeolog Universitas Indonesia. Menurutnya, prasasti-prasasti semacam ini adalah salah satu cara Sriwijaya untuk menancapkan hegemoninya, “Isinya adalah ancaman bagi mereka yang berani melawan raja. Ini sebagai bukti bagaimana ia Sriwijaya, red. diakui,” ujar Ninie lagi.
- Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan besar yang bercorak Buddha di Nusantara. Kerajaan Sriwijaya diperkirakan berdiri pada abad ke-7 oleh Dapunta Hyang Sri Jayanaga dan menjadi raja pertama. Pada masanya Kerajaan Sriwijaya merupakan pusat agama Buddha di Asia Tenggara dan Asia keberadaan Kerajaan Sriwijaya Ada beberapa bukti mengenai berdiri dan berkembangnya Kerajaan Sriwijaya di Nusantara. Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia 2019 karya Edi Hernadi, sumber sejarah Kerajaan Sriwijaya yang penting adalah prasasti. Prasasti-prasasti tersebut ditulis dengan huruf Pallawa. Bahasa yang dipakai adalah Melayu juga Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Maritim Terbesar di Nusantara Berikut bukti keberadaan Kerajaan Sriwijaya Prasasti Kedukan Bukit Prasasti Kedukan Bukit ditemukan di tepi Sungai Tatang, dekat Palembang. Prasasti tersebut tertulis 604 saka 683 M. Dalam prasasti tersebut isinya menerangkan bahwa seorang bernama Dapunta Hyang mengadakan perjalanan suci siddhayatra dengan menggunakan perahu. Ia berangkat dari Minangatamwan dengan membawa tentara orang hingga di Upang Palembang. Di sana ia mendirikan vihara.
- Sriwijaya dalam historiografi Indonesia lebih dikenal sebagai suatu emporium maritim nan mapan. Menimbang pengaruhnya yang merambat ke berbagai pulau di Indonesia bagian barat, Muhammad Yamin kemudian menyebutnya sebagai Negara Nasional Jilid I. Yamin—juga para sejarawan pelanjutnya di zaman Orde Baru—juga menggabungkan sejarah Sriwijaya dalam satu wacana yang dikenal sebagai Persatuan 6000 Tahun Indonesia Agenda itu lantas dikritik oleh M. Wood dalam Sejarah Resmi Indonesia versi Orde Baru dan Para Penentangnya 2013. Wacana glorifikasi sejarah yang berlebihan semacam itu memang punya sisi negatif. Salah satunya adalah terpinggirkannya narasi-narasi kecil Sriwijaya yang juga penting untuk dipelajari. Misalnya, bagaimana penguasa Sriwijaya menyikapi barang psikotropika dan perilaku bermadat. Para datuk Sriwijaya adalah sosok yang gemar sekali mengutuk. Kutukan atau sapatha yang mereka lontarkan bahkan jamak tercatat dalam prasasti. Tengoklah beberapa prasasti tinggalan Sriwijaya yang ditemukan di daerah Palembang, Bangka, Jambi, dan Lampung. Namun, itu kutuk bukan sembarang kutuk. Kutukan yang disampaikan oleh datuk Sriwijaya umumnya berkenaan dengan hukuman bagi sesiapa yang melanggar aturan bermasyarakat atau mencederai kesetiaan kepada kerajaan. Termasuk salah satunya soal candu. Buktinya terdapat dalam Prasasti Kota Kapur dan Karang Brahi 686 M. Dua prasasti yang masing-masing ditemukan di Pulau Bangka dan Jambi itu memuat inskripsi berbunyi “Tathāpi savaňakňa yaŋ vuatňa jāhat. makalaṅit uraŋ. Makasākit. Makagīla. Mantrā gada. viṣaprayoga. upuḥ tūva. Tāmval. Sarāŋvat. ityevamādi. jāṅan muaḥ ya siddha. Pulaŋ ka iya muaḥ. Yaŋ doṣāňa vuatňajāhat inan. Tathāpi nivunuḥ ya sumpah...” Bila diterjemahkan, isinya akan berbunyi “Lagi pula biar semua perbuatannya yang jahat, seperti mengganggu ketentraman jiwa orang, membuat orang sakit, membuat orang gila, menggunakan mantra, racun, memakai racun upas dan tuba, ganja, saramvat ?, pekasih, memaksakan kehendaknya pada orang lain dan sebagainya semoga perbuatan itu tidak berhasil dan menghantam mereka yang bersalah melakukan perbuatan jahat itu, biar pula mereka mati kena kutuk.” Kata Melayu Kuno tāmval yang biasa diartikan sebagai ganja di dalam kedua prasasti itu berakar dari bahasa Sanskerta “tāmbala”. Kata tāmbala sebenarnya lebih merujuk pada olahan ganja yang disebut hasis, bukan ganja kering yang lebih sering ditemui di masa sekarang. Hasis merupakan bubuk daun ganja yang diolah hingga menjadi seperti adonan dodol. Para penggemar hasis di masa lalu mengonsumsinya dengan cara dibakar dan diisap menggunakan cangklong atau diuapkan melalui bong. Meski perilaku memadat dikutuk habis oleh raja-raja Sriwijaya, nyatanya kutukan itu tidak berlaku untuk semua orang. Ada golongan-golongan tertentu yang lepas dari larangan itu dengan alasan khusus. Ganja dalam Ritual Keagamaan Golongan khusus yang dimaksud kemungkinan adalah para penguasa dan pemangku agama. Pasalnya, bahan-bahan psikotropika sudah lama menjadi primadona bagi beberapa agama di dunia, termasuk agama Hindu dan Buddha yang sempat menjadi arus utama kepercayaan masyarakat Nusantara di masa klasik. Di India, olahan tanaman dari rumpun Cannabis itu sudah lama lekat dengan ritual keagamaan. Hal itu dapat dilacak dalam teks berbahasa Indo-Eropa tertua di anak benua itu, Rig-Veda. Menurut Mark S. Ferrara dalam “Peak-experience and the Entheogenic Use of Cannabis in World Religions” yang terbit dalam Journal of Psychedelic Studies 2020, praktek shamanisme dalam Rig-Veda sering menunjukan adanya simbolisasi dari proses kematian dan kebangkitan. Dalam proses itu, sang resi atau pendeta yang diagungkan menjalankan beberapa laku, seperti berpuasa, menahan hawa nafsu birahi, memanipulasi pernapasan, membaca mantra secara repetitif, dan mengonsumsi psikotropika. Karena ganja memang tumbuh subur di India, tumbuhan berdaun jari itu kemudian menjadi pilihan terdepan dalam upacara-upacara yang tujuan akhirnya adalah mencapai trance kondisi tidak sadar. Dalam ajaran Veda pra-Hindu, sambung Ferarra, dikenal istilah soma yang dianggap sebagai “makanan surgawi” yang bumbunya dirahasiakan. Setelah ditelusuri lebih lanjut, salah satu bahan utama soma adalah hasis. Soma disajikan kepada para resi sebelum upacara penyatuan manusia dengan para dewa unsur alam dilakukan. Para resi melakukan ritual ini demi terkabulnya pengharapan akan beberapa hal, seperti menangkal roh, menyembuhkan penyakit, mendatangkan kesejahteraan, dan membuka jalan keselamatan. Sementara itu dalam Buddhisme, menurut Ferrara, konsumsi ganja baru benar-benar terlihat signifikan dalam praktik esoteris Vajrayana atau Tantrayana yang berkembang di Tibet. Teks Tantrik tertua yang menyebut soal penggunaan ganja adalah Yogaratnamala. Teks yang diasosiasikan dengan guru besar Buddha Vajrayana Nagarjuna itu merekomendasikan adanya proses mengisap ganja untuk “meruntuhkan para musuh”. Konsep ini berkenaan dengan proses pembebasan penganut Tantra dari kemelekatan duniawi yang dianggap sebagai musuh. Bagi mereka, yoga terbaiknya adalah melakukan prosesi trance melalui ganja. Pada perkembangannya, ganja kemudian makin populer sebagai suatu simbol keagamaan Tantra. Di titik ini, ganja disinonimkan dengan nama-nama Boddhisatva yang diyakini dalam Buddha Tantrayana. Dalam mitologi, ganja seringkali disebut sebagai Trailokyavijaya atau wujud ganas emanasi Buddha yang mengalahkan Dewa Siwa dan Parwati. Infografik Mozaik Ganja & Sriwijaya. Simbol Religio-Politik Para Datuk Kedudukan ganja dalam kepercayaan Hindu dan Buddha seperti diuraikan sebelumnya juga berlaku dalam masyarakat Sriwijaya. Sebagaimana disebut oleh George Coedes dkk. dalam Kedatuan Sriwijaya Kajian Sumber Prasasti dan Arkeologi 2014, berdasar informasi yang tersurat atau tersirat dalam prasasti dan tinggalan purbakala lain, para penguasa Sriwijaya lamat-lamat menampakkan ciri penganut Tantrayana. Maka boleh jadi mereka juga punya hubungan erat dengan ganja dalam praktik ritual Tantrayana. Lantas mengapa para datuk Sriwijaya justru mengutuk—atau bisa juga diartikan sebagai bentuk larangan—penggunaan ganja? Dalam konteks Sriwijaya, hal itu agaknya berkaitan dengan simbol religio-politik. Menurut M. Alnoza dalam “Konsep Raja Ideal Sriwijaya berdasarkan Sumber Tertulis” yang diterbitkan di jurnal Jumantara 2020, para datuk Sriwijaya memposisikan dirinya sebagai penganut laku Tantrayana yang sempurna. Para datuk Sriwijaya secara religio-politik berada di puncak hierarki dan tidak dapat disamakan dengan rakyat biasa. Karenanya, mereka memiliki hak istimewa untuk menggunakan ganja dalam ritual Tantrayana. Maka ganja bisa pula disebut sebagai bagian dari simbol politik eksklusif sekaligus simbol keagamaan yang melekat pada diri datuk Sriwijaya. Menilik hal ini, rakyat biasa tentu tidak bisa sembarangan mengonsumsi ganja. Dan melanggar aturan ini, seturut apa yang tertulis dalam prasasti, bisa dianggap sebagai bentuk pemberontakan terhadap sang datuk. - Sosial Budaya Kontributor Muhamad AlnozaPenulis Muhamad AlnozaEditor Fadrik Aziz Firdausi
berita tentang penaklukan jambi oleh sriwijaya tertulis dalam prasasti